Sektor Konstruksi memiliki kompleksitas pekerjaan yang khas dan berbeda sehingga karakteristik pengadaan barang/jasa yang dilakukan pun memiliki perbedaan dengan sektor lain. Untuk itu dibutuhkan pengaturan pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) yang terpisah dengan pengaturan penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi, bisa berupa Perpres tersendiri dan atau bab khusus dari aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ada saat ini.
Demikian disampaikan Yusid Toyib pada Lembaga Kebijakan Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dalam sebuah forum diskusi yang juga dihadiri dengan Anggota Komisi V DPR RI, Kepala LKPP, para pakar / ahli konstruksi, serta LPJK Nasional dan Propinsi, terkait kajian pengembangan iklim usaha nasional dalam perluasan kesempatan usaha di Bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah khususnya Bidang Pekerjaan Konstruksi.
Kemudian, dikatakan oleh Direktur Jenderal Bina Konstruksi, dibutuhkan kesepahaman pemeriksa dalam hal ini BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terkait pengawasan yang harus memiliki pemahaman yang sama tentang kerugian negara, misal pada jenis kontrak lump sum. Selain itu, butuh partisipasi Kementerian Keuangan, khususnya jenis pajak yang dikenakan kepada para penyedia jasa, secara tidak langsung, sehingga dapat mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
“Diperlukan payung regulasi dari Kementerian keuangan kepada perbankan untuk memberikan dukungan financial dengan bunga yang rendah bagi kontraktor yang menang tender. Misalkan dalam hal pengadaan peralatan maupun dalam pelaksanaan pekerjaan”, Kata Dirjen Bina Konstruksi.
Data LPJKN menunjukan jumlah kontraktor kualifikasi kecil saat ini sebesar 87 % dan pada umumnya berada di daerah, di mana perbandingan Kontraktor General dan kontraktor spesialis tidak porposional.
“Kami sepakat untuk mendorong tumbuhnya kontraktor spesialis dengan mengarahkan kontraktor kualifikasi kecil menjadi kontraktor spesialis, perlu ada pengaturan yang sifatnya jaminan bahwa kontraktor umum ketika mengikuti tender sudah menggandeng kontraktor spesialis sehingga pekerjaan spesialis akan diberikan kepada kontraktor, Pekerjaan spesialis di tenderkan untuk kontraktor spesialis”, kata Yusid.
Selain itu dibutuhkan pengaturan untuk memperbesar pasar bagi kontraktor spesialis, dimana kontraktor general tidak boleh menjadi kontraktor spesialis, serta Pengembangan pasar konstruksi spesialis dengan cara membolehkan kontraktor spesialis untuk menjadi kontraktor utama.
Akhmad Suraji, pakar dari Universitas Andalas mengatakan, “pasar untuk kontraktor specialist harus diciptakan, serta pemberian reward berupa repeat order kepada kontraktor yang berkinerja baik diperlukan.”
Selama DJBK ini melalui kegiatan Konstruksi Indonesia telah diberikan reward kepada BUJK yang memiliki kinerja baik berdasarkan kinerja proyek yang sedang dilaksanakan. Ke depan akan diperhatikan juga proses kualifikasi dan evaluasi penilaian perlu dipertimbangkan untuk diatur melalui metode penilaian berdasarkan “best value”, bukan berdasarkan lowest Bid. Selain itu ke depan diharapkan ada aturan dimana harus ada pengalaman kontraktor yang terdokumentasi dengan baik dan terverifikasi, serta diusulkan untuk diatur terkait registrasi pengalaman BUJK dalam RUU JK.
Sementara itu tentang tenaga kerja konstruksi, pakar dari ITB, Prof. Rizal Tamin, sempat mengemukaan kepada forum bahwa Indonesia yang kekurangan tenaga ahli dari sektor konstruksi merupakan pekerjaan rumah yang harus segera di bereskan oleh Pemerintah, khususnya dalam hal penetapan standar minimal remunerasi untuk para tenaga ahli tersebut,
“jangan salahkan para tenaga terbaik sektor konstruksi kita malah memilih berkarir di sektor perbankan, atau migas, karena di jasa konstruksi ia hanya menerima Rp.3-4 juta, dengan tanggungjawab pekerjaan yang sangat berat, yang seharusnya ia berpendapat 80-100 jt per bulan”, Ujar Tamin.
“Sebenarnya sudah ada pengaturan terkait renumerasi Tenaga Ahli seperti yang tertuang dalam Biling rate”, tambah Dirjen Bina Konstruksi. Namun pengaturan tersebut dalam implementasinya belum berjalan dengan baik dikarenakan standar renumerasinya maksimal. Dalam RUU JK diusulkan untuk pengaturan remunerasi terhadap tenaga kerja konstruksi meliputi: Pengaturan standar renumerasi minimal, Pengguna dan penyedia jasa memberlakukan standar remunerasi minimal.
Dalam RUU Jasa Konstruksi yang diinisiasi DPR RI, diupayakan pemerintah daerah diberikan peluang untuk membuat kebijakan khusus dalam upaya memberdayakan BUJK di daerah. Kebijakan khusus tersebut, Join operation dengan BUJK lokal, Subkon dengan kontraktor lokal, Penggunaan tenaga kerja lokal. Hal ini akan terjaditransfer knowledge. BUJK yang ada di daerah kami dorong agar lebih bisa bersaing dengan BUMN karena fungsi BUMN didirikan itu memang khusus, mereka adalah perintis jangan orientasi profit, namun juga harus dapat membimbing para kontraktor kecil dan menengah khususnya di daerah untuk lebih berkembang.
Salah satu audience, perwakilan LPJK Provinsi Sumatera Barat, Muhammad Dien, mengutarakan, “Karena adanya perbedaan pemahaman antara penyedia jasa dan pemeriksa, dalam hal ini pemeriksaan BPK, banyak yang sebenarnya pekerjaan kontraktor tersebut “benar” dari sisi ilmu ke-teknik-an tapi, nasibnya tragis harus masuk tahanan karena dianggap telah merugikan Negara karena perhitungan yang tidak sepaham, ini tidak bisa dibiarkan karena banyak pengusaha / penyedia jasa yang ketakutan dan gulung tikar hanya karena masalah aturan yang seperti ini. Bagaimana usaha penyedia jasa didaerah bisa maju dan berkembang?”, ujarnya.
Anggota Komisi V DPR RI, Syukur Nababan, mengiyakan fakta tersebut, “Sebaiknya ada dewan khusus, atau semacam komite etik yang menilai jika terjadi kegagalan bangunan, atau wanprestasi, harus diselesaikan dengan cara khusus dengan melibatkan tim ahli konstruksi yang independen, sebelum masuk ke pihak berwajib”, kata Syukur.
DJBK, Kementerian PUPR, mendorong jika ada kegagalan bangunan pengaduan dari masyarakat maka proses pemeriksaan oleh aparat penegak hukum dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan keuangan dari lembaga Negara (APIP) yang memiliki tugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Ketentuan tersebut dikecualikan jika terjadi kerugian keamanan dan keselamatan akibat kegagalan bangunan dan kegagalan pekerjaan konstruksi, serta tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam diskusi ini pun membicarakan juga tentang harus adanya regulasi yang berpihak pada BUJK Kecil dan Menengah. Permen PU Nomor 31 Tahun 2015 sudah mengatur terkait segmentasi pasar untuk BUJK kualifikasi Kecil, Menengah dan Besar. Terkait segmentasi pasar untuk kualifikasi Kecil, Menengah dan Besar diusulkan pengaturan yang lebih tegas meliputi: BUJK kualifikasi Kecil hanya dapat menyelenggarakan jasa konstruksi yang beresiko kecil, teknologi sederhana dan biaya kecil, BUJK kualifikasi menengah hanya dapat menyelenggarakan jasa konstruksi yang beresiko menengah, teknologi madya dan berbiaya sedang, BUJK kualifikasi Besar hanya dapat menyelenggarakan jasa konstruksi yang beresiko Besar, teknologi tinggi dan berbiaya tinggi.
Kepala LKPP, Agus Prabowo, mengatakan beberapa poin yang menjadi tindaklanjut untuk kebijakan LKPP ke depan, yaitu pengadaan barang/jasa sektor konstruksi tidak cocok dilakukan full e-tendering, khususnya pada proses aanwijzing, selain itu pada, jasa konsultansi tidak cocok untuk diterapkan kontrak lum sump. Selain itu masukan-masukan lain juga akan menjadi perhatian LKPP untuk membuat kebijakan ke depan.
Agus pun menyampaikan harapannya terkait revisi UU Jasa Konstruksi yang sedang dibahas oleh DPR, bahwa Undang-Undang ini pun harus memperhatikan output terkait Quality Assurance atas produk infrastruktur yang dihasilkan. “diharapkan ada sebuah badan yang bertanggungjawab dan berwenang dalam menilai sebuah produk yang dihasilkan, bahwa produk itu sangat aman dan terjamin dari segi kualitas, kita benchmarking dari industri konstruksi penerbangan di dunia”, Tutupnya (Dnd).
Download disini