Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan terus mendorong Pemerintah Daerah untuk mendukung kebijakan hunian berimbang.
Kebijakan hunian berimbang saat ini masih belum banyak dilaksanakan oleh para pengembang. Padahal kebijakan ini merupakan salah satu kunci pengurangan backlog yang diperkirakan berjumlah 13,5 juta unit, berdasarkan konsep kepemilikan.
“Backlog saat ini sebesar 13,5 juta unit, sekitar 60% nya itu adalah kebutuhan rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sehingga yang lebih banyak dibutuhkan adalah rumah untuk kelas menengah kebawah”, ungkap Syarif Burhanuddin selaku Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan, di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) (7/1).
Menurut amanat UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, diatur bahwa pengembang dalam membangun perumahan, wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang. Dimana lebih lanjut dijelaskan dalam Permenpera No. 10 Tahun 2012, bahwa konsep hunian berimbang untuk rumah tapak adalah dengan perbandingan 1:2:3. Yaitu setiap 1 rumah mewah, wajib diimbangi dengan 2 rumah menengah dan 3 rumah sederhana, dalam satu hamparan, atau tidak dalam satu hamparan tetapi pada satu wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, diatur bahwa dalam pembangunan rumah susun komersial, pengembang wajib menyediakan rumah susun umum (untuk MBR)sekurang-kurangnya 20% dari total luasan lantai rumah susun komersial yang dibangun.
Kebijakan ini sempat dikeluhkan oleh para pengembang, karena harga tanah yang dianggap strategis untuk rumah komersil harganya jauh lebih mahal, sehingga tidak dimungkinkan untuk dibangun rumah sederhana pada satu hamparan.
“Sebenarnya saat ini pengembang sudah diberi kemudahan. Harga tanah yang tinggi tidak memungkinkan pengembang membangun rumah sederhana disatu hamparan dengan rumah komersial. Makanya pengembang diperbolehkan untuk membangun hunian berimbang dalam satu wilayah Kota atau Kabupaten. Tetapi masih banyak pengembang yang tetap belum menjalankan." jelas Syarif.
Sebagai informasi, dalam Permenpera No. 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Dengan Hunian Berimbang sebagaimana telah dirubah dengan Permenpera No. 07 Tahun 2013, telah diatur bahwa pengembang yang tidak melaksanakan konsep hunian berimbang dapat dikenai tindak pidana dan perdata. Bahkan sanksi terberat dalam Peraturan tersebut dapat mencabut izin usaha perusahan. Namun masih banyak pengembang yang tidak mengindahkan peraturan tersebut.
Menurut Syarif, saat ini pengembang lebih banyak membangun rumah komersial karena keuntungan yang lebih besar. Maka dari itu peran Pemerintah Daerah sangat penting untuk dapat mendukung kebijakan hunian berimbang.
“Kunci utamanya adalah Pemerintah Daerah. Karena izin IMB dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Kalau saat pengembang mengajukan siteplan, dan dalam siteplan tidak menunjukkan komposisi hunian berimbang, sebaiknya izin tidak dikeluarkan",ungkapnya.
Pemerintah Daerah juga diharapkan dapat segera membuat perda untuk mendukung Undang-undang yang mengatur hunian berimbang, sebagaimana diamantkan pada pasal 36 ayat 3 UU No.1 Tahun 2011.
"Meskipun belum ada perda, saat ini sebenarnya Undang-undang sudah berlaku. Sehingga pengembang harusnya segera memenuhi kewajibannya. Namun untuk lebih memperkuat, Pemda diharapkan dapat segera membentuk Perda" tambahnya. (Melisa/ Komunikasi Publik Ditjen Penyediaan Perumahan).
Download disini