Pemerintah merespon positif inisiasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Jasa Konstruksi sebagai pengganti Undang-undang (UU) Nomor 18/1999 tentang Jasa Konstruksi. Karena saat ini memang ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam tata kelola sektor jasa konstruksi nasional agar menjadi lebih baik serta dapat menyesuaikan terhadap dinamika perubahan lingkungan strategis.
Bahkan dalam pembahasan RUU ini, Presiden RI, Joko Widodo menugaskan empat menteri untuk membahas RUU Jasa Konstruksi bersama DPR-RI. Keempat kementerian tersebut adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Saat ini Rancangan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi sedang dalam tahap pembahasan tingkat I dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR RI. Tahapan selanjutnya adalah pembahasan pada level panitia kerja (Panja) bila ada pembahasan mendalam maka akan dibahas dengan tim perumus atau tim kecil DPR.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi, Yusid Toyib kepada wartawan di Jakarta, Rabu (2/3) mengatakan bahwa saat ini pemberlakuan pengaturan sektor terkait konstruksi memerlukan harmonisasi dengan pemberlakuan UU Ketenagakerjaan, standar internasional terkait usaha jasa konstruksi, UU Keprofesian (keinsinyuran dan segera Arsitektural). Kemudian UU terkait sektor jasa konstruksi (ESDM) lalu pemberlakuan UU terkait dengan Pemerintahan Otonomi.
Menurutnya, tantangan penyelenggaraan jasa konstruksi pun sudah banyak berubah dan semakin besar, investasi konstruksi semakin besar, pasar jasa konstruksi semakin terbuka secara global.
Yusid Toyib mengatakan, strategi Indonesia selain harus bertahan juga menyerang pasar konstruksi luar negeri. Sudah ada beberapa kontraktor BUMN bekerja ke Arab Saudi, UEA, Qatar, Oman, Timor Leste, Libya, Filipina, Brunei, Malaysia, Myanmar, Afrika Selatan.
Terdekat Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) Swasta Indonesia diarahkan untuk bekerja di Papua New Guinea. Peningkatkan kapasitas dan kualitas BUJK Nasional serta tenaga kerja konstruksi Indonesia pun tetap terus dilaksanakan karena bagaimana pun pembangunan infrastruktur di Indonesia harus disupport penuh oleh sumber daya nasional.
“Sistem delivery konstruksi yang semakin berkembang, rantai pasok yang harus berjalan baik, kemudian tuntutan pada aspek keamanan keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan konstruksi menjadi sangat diperlukan,” kata Yusid.
Selain itu, pembelaan terhadap pekerjaan konstruksi perlu dilakukan secara tegas mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi yang merupakan ranah keperdataan dengan mendorong penyelesaian sengketa pada dokumen kontrak dan penyelesaian di luar pengadilan.
Kemajuan dan tuntutan tentang peran Jasa Konstruksi mengindikasikan perlunya aturan baru karena UU Jasa Konstruksi telah berlaku selama kurang lebih 16 tahun dan dianggap sudah tidak mampu lagi mengakomodasi segala permasalahan yang berkembang. Seperti kualifikasi ASMET (arsitek, sipil, mekanikal, elektrikal, tata lingkungan) yang berubah sejalan dengan era perdagangan bebas menjadi konsep CPC (central product classification).
RUU Jasa Konstruksi ini mulai digagas sejak sebelum pemerintahan Jokowi. Upaya tersebut pun berlanjut, dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) DPR RI 2015. Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi menjadi daftar prioritas untuk dilakukan pembahasan.
Inisiasi perubahan UU nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi ini pun memprioritaskan pada penggunaan produk lokal dan mengedepankan pengusahaan dalam negeri. (Dn)
Download disini