JAKARTA - Rancangan Undangan-undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah disahkan menjadi undang-undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam Rapat Paripurna ke-19 DPR RI masa persidangan III tahun 2015-2016, di gedung DPR RI, Selasa (23/2).
Pengesahan RUU Tapera menjadi undang-undang ditandai dengan diketoknya palu dalam Rapat Paripurna tersebut oleh pimpin Rapat Paripurna DPR RI, Agus Hermanto. Rapat Paripurna pengesahan RUU Tapera yang dihadiri oleh 318 anggota DPR RI berjalan lancar karena mendapat dukungan penuh dari seluruh anggota.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono dalam sambutannya mewakili Presiden RI Joko Widodo dalam rapat paripurna tersebut mengatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 H ayat 1, negara menjamin pemenuhan kebutuhan warga negara atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif.
Ia mengatakan bahwa pembentukan UU Tapera merupakan hal yang tepat sebagai bentuk kehadiran negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan tempat tinggal yang layak dan terjangkau bagi masyarakat.
Pemerintah pun mengapresiasi DPR RI yang telah mengambil inisiatif dan menyelesaikan RUU Tapera hingga menjadi UU. Ini mencerminkan keberpihakan yang kuat kepada masyarakat dalam upaya mengatasi akses pembiayaan perumahan agar MBR memiliki tempat tinggal yang layak huni dan terjangkau.
Setelah diundangkannya UU Tapera, maka tugas pemerintah selanjutnya adalah menyelesaikan penyusunan peraturan perundang-undangan ke dalam pengaturan yang lebih teknis, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden dan peraturan Badan Pelaksana Tapera. "Selanjutnya UU Tapera akan dijalankan oleh pemerintah," katanya.
Sebagai wujud dukungan pemerintah atas undang-undang ini maka pemerintah akan segera menyiapkan segala perangkat untuk berjalannya Tapera. Salah satu yang sudah direncanakan pemerintah adalah menggabungkan program fasiltas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP ke dalam program Tapera. Karena pada prinsipnya program FLPP ini adalah program penyediaan dana perumahan bagi MBR sebagaimana ada dalam UU Tapera ini.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Tapera, Yoseph Umar Hadi mengatakan bahwa RUU Tapera adalah RUU inisiatif DPR RI yang pertama dalam periode 2014-2019 yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) setelah disepakati bersama DPR dan pemerintah untuk diprioritaskan di 2015.
Ia mengatakam bahwa RUU ini sudah pernah menjadi inisiatif DPR RI pada periode 2009-2014 namun tidak berhasil diselesaikan. "Kami berpendapat RUU ini memiliki sebuah gagasan cita-cita untuk menyelesaikan permasalahan perumahan, utamanya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang selama ini hampir mustahil dapat memiliki rumah atau tempat tinggal sendiri," tuturnya.
Menurutnya, MBR tidak bisa memenuhi persyaratan perbankan sehingga tidak mendapat akses pembiayaan (kredit) di perbankan untuk dapat mencicil rumah. Akibatnya, jumlah MBR yang tidak memiliki rumah dari tahun ke tahun terus meningkat mencapai backlog hampir 15 juta Kepala Keluarga (KK). "Jumlah ini akan terus bertambah bila tidak ada suatu terobosan (revolusi di bidang perumahan)," katanya.
Ia menyampaikan bahwa kemampuan keuangan negara (APBN) dari tahun ke tahun sangat terbatas. Untuk menyediakan rumah bagi masyarakat yang miskin saja, pemerintah sudah kewalahan karena hanya mampu menyediakan rata-rata 300.000-500.000 unit setiap tahun. Sementara kebutuhan (demand) yang ada mencapai 800.000 unit. Sementara kebutuhan rumah untuk masyarakat di atas garis kemiskinan atau di atas upah minimum belum tertangani dengan baik. Masyarakat yang berada dalam segmen ini atau yang sering disebut sebagai masyarakat berpenghasilan rendah yang jumlahnya mencapai puluhan juta (40 persen) juga memerlukan perhatian.
Yoseph menambahkan bahwa program FLPP yang diluncurkan pemerintah lima tahun silam yang rata-rata mencapai Rp 5-7 trilliun setiap tahun juga tidak mampu mengatasi penyediaan rumah bagi kelompok ini. Oleh karena itu, kalau tidak ada terobosan atau solusi yang bersifat revolusioner, persoalan ini akan menjadi bom waktu bagi bangsa Indonesia.
DPR berpandangan RUU Tapera ini bersama seperangkat peraturan perundangan lain di bidang perumahan yaitu UU NO 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, UU No 20/2011 tentang Rumah Susun, akan mampu mengatasi persoalan mendasar mengenai perumahan terutama dari sisi sistem pembiayaan.
Yoseph menegaskan bahwa inti pokok dari RUU Tapera adalah menyediakan sebuah payung hukum bagi pemerintah untuk mewajibkan setiap warga negara Indonesia maupun asing yang bekerja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk menabung sebagian dari penghasilannya di Bank Kustodian yang akan dikelola oleh Badan Pengelola (BP) Tapera untuk dipupuk dan dimanfaatkan untuk penyediaan rumah murah dan layak. Apabila semua pekerja baik formal maupun mandiri, yang memiliki penghasilan di atas upah minimum menabung, maka tercapai dana tabungan yang sangat besar.
Hasil pemupukan jumlah dana yang besar ini akan dipergunakan untuk mensubsidi MBR, untuk memperoleh kredit perumahan dengan bunga murah dan jangka panjang. Pemanfaatan dana Tapera dan hasil pemupukannya hanya untuk peserta yang akan membeli, membangun atau merenovasi rumah pertama, serta akan dikembalikan pada saat peserta berusia 58 tahun atau sudah pensiun.
Inilah subtansi kegotongroyongan seluruh warga bangsa bahwa penabung yang mampu dan sudah memiliki rumah merelakan sebagian penghasilannya ditabung dengan bunga murah, dengan tujuan membantu warga yang penghasilannya rendah. Semangat kebersamaan juga dicerminkan dengan kewajiban pemberi kerja kepada karyawannya. Sementara besarnya kontribusi tersebut diatur dalam peraturan pemerintah agar mudah disesuaikan dengan perkembangan ekonomi.
Yoseph menambahkan, RUU Tapera yang telah disahkan terdiri dari 12 Bab dan 82 Pasal. (To/Son)
Download disini