Perkotaan merupakan kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim. Populasi penduduk perkotaan yang relatif lebih tinggi dibandingkan penduduk perdesaan berpotensi untuk berkontribusi lebih besar dalam menghasilkan gas rumah kaca.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Keterpaduan Infrastruktur Permukiman Dwityo A. Soeranto dalam Workshop Kota Berketahanan, Strategi Pembangunan Infrastruktur Permukiman dalam Menghadapi Perubahan Iklim, di Jakarta, Rabu (16/08/2016).
Tujuan dari acara ini yaitu untuk mendiskusikan pengaruh perubahan iklim terhadap infrastruktur permukiman, dan bagaimana infrastruktur Cipta Karya dapat didesain sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan ketahanan kota dalam menghadapi perubahan iklim. Melalui kegiatan ini, diharapkan pembangunan infrastruktur permukiman dapat lebih berkontribusi dalam menghadapi perubahan iklim untuk meningkatkan keterpaduan program bidang keciptakaryaan sebagai upaya peningkatan kualitas infrastruktur permukiman di tanah air.
“Indonesia telah meratifikasi Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC) pada tahun 1994 melalui Undang- Undang No. 6 tahun 1994, dengan meratifikasi UNFCCC tersebut, Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya perubahan iklim global. Ini menunjukkan bahwa Indonesia turut bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan global, khususnya pada masalah perubahan iklim bumi,” tutur Dwityo.
Secara teknis, upaya pemerintah dalam pengurangan dampak perubahan iklim telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Perpres ini mencakup 5 sektor, yaitu kehutanan dan lahan gambut, limbah, pertanian, industri, serta energi dan transportasi. “Total emisi yang diturunkan dari sektor-sektor ini adalah 0,767 Giga ton CO2-ekivalen (untuk penurunan 26%) dan 0,422 Giga ton CO2-ekivalen (untuk penurunan emisi sebesar 41%). Air limbah merupakan sektor yang sangat penting dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Apalagi laju pertumbuhan penduduk juga memacu meningkatnya jumlah limbah yang akan dihasilkan oleh kota,” kata Dwityo.
Dalam rangka pelaksanaan RAN MAPI ini, Ditjen Cipta Karya telah mengeluarkan Keputusan Dirjen Cipta Karya No. 115/KPTS/DC/2013 yaitu Membentuk Tim Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (Tim MAPI) Direktorat Jenderal Cipta Karya. Sampai saat ini, Ditjen Cipta Karya telah menyupayakan banyak hal untuk pelaksanaan RAN MAPI, diantaranya gedung baru Kementerian PUPR adalah salah satu contoh bangunan hijau yang diperkirakan dapat menghemat penggunaan energi hingga 44%, penghematan konsumsi air antara 61-83%, serta dapat mengurangi emisi karbon sebanyak 1.650 ton setiap tahunnya. Bangunan ini telah memperoleh sertifikasi greenship tingkat platinum dari Green Building Certification Institute. Disamping itu, melalui dana APBN, sampai dengan tahun 2013 pelaksanaan pembangunan sanitasi berbasis masyarakat telah dilakukan di 917 lokasi yang tersebar di 349 kabupaten/kota. Sedangkan melalui pinjaman IDB, telah dilakukan di 1.800 lokasi di 46 kabupaten/kota. Pemanfaatan Gas Methan dari TPA SistemSanitary Landfill di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Sampai dengan tahun 2013, sebanyak 128 TPA telah dibangun di 33 provinsi.
Dwityo berharap para pemangku kepentingan yang hadir hari ini dapat bekerjasama dalam mensinergikan pembangunan infrastruktur permukiman untuk mengurangi dampak perubahan iklim. “Mari kita berinvestasi untuk anak cucu kita melalui tanggung jawab dan kewenangan yang saat ini kita miliki,” tutup Dwityo.(ard)
Download disini