(0362) 22248
putr@bulelengkab.go.id
Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang

Sumber Kekayaan Lokal untuk Infrastruktur

Admin putr | 08 Juni 2016 | 756 kali

Pembangunan infrastruktur merupakan jantung pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi Indonesia, infrastruktur juga sebagai alat pemersatu bangsa. Banyak studi dan diskusi yang menyimpulkan demikian.

Mantan Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick mengatakan, infrastruktur yang minim merupakan salah satu dari tiga penyebab mengapa negara berpendapatan menengah terperangkap dan tidak mampu beranjak menjadi negara maju. Oleh karena itu, merupakan satu keharusan bagi pemerintah di negara berkembang untuk menetapkan alokasi anggaran yang cukup besar untuk membangun infrastruktur. Tanpa komitmen yang kuat, negara berkembang mungkin akan terjebak pada kondisi pertumbuhan yang stagnan.

Komitmen yang tinggi untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur tecermin dalam program kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari ujung timur ke ujung barat Indonesia, pembangunan tampak kentara dengan indikator pembangunan jaringan jalan, peningkatan kualitas jalan, pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara hingga jalur kereta api. Tentu tujuannya menciptakan pertumbuhan kawasan yang lebih baik sehingga perekonomian masyarakat akan meningkat.

Tidak saja terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi pertumbuhan ekonomi juga akan menyebar ke pulau-pulau lain. Dengan keadaan demografi, geografi, dan sumber kekayaan alam yang menyebar, tentu dibutuhkan sistem jaringan jalan untuk mendukung perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Namun karena kondisi tersebut, sistem jaringan jalan di Indonesia belum dapat dikatakan terintegrasi. Sistem jaringan jalan ini selain tersekat oleh pulau-pulau, juga volume lalu lintas distribusi yang dapat diangkut menjadi sangat heterogen dan susah untuk diseragamkan.

Sementara itu di sisi lain, pada saat perencanaan, penggunaan bahan dalam pembangunan dan tata cara pelaksanaannya yang dipakai relatif seragam. Akibatnya, dapat diduga, dengan model perencanaan sistem jalan yang seperti itu, penentuan desain ”beban” yang berdampak pada penentuan dimensi dan sistem konstruksi jalan serta jembatan juga akan sama.

Ini tentu tidak praktis dan efisien karena untuk volume lalu lintas yang relatif rendah, pemakaian material pun akan dapat menjadi lebih boros. Adapun ketika tahap pelaksanaan, terkadang material yang dipersyaratkan pada saat perencanaan tidak tersedia— kalaupun ada harganya sangat mahal—karena harus didatangkan dari daerah lain melalui transportasi darat, laut, bahkan melalui udara.

Terkadang memang kondisi seperti itu dapat diatasi dengan menggunakan sumber daya lokal yang ada tanpa mengesampingkan standar spesifikasi yang diisyaratkan mengingat kebijakan penyeragaman standar pembebanan. Apabila penggunaan material di luar spesifikasi kadangkadang juga akan menjadi temuan saat audit karena kesalahan membayar akibat spesifikasi yang diisyaratkan tidak terpenuhi. Terjadi persoalan dilematis, karena material di lokasi proyek tidak tersedia, sedangkan pekerjaan dituntut harus diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan.

 

Human Infrastructure

Untuk mengatasi persoalan tersebut, alangkah baiknya ada solusi dengan mendorong pengembangan standar perencanaan khususnya penentuan Beban Lalu-lintas Rencana yang merefleksikan volume lalu-lintas dan daya angkut serta spesifikasi bahan konstruksi secara regional atau lokal. Tentu, aspek keamanan dan kenyamanan pengguna jalan dan jembatan tetap nomor satu.

Kita dapat berkaca dengan pengalaman Papua dalam mengembangkan jaringan jalan dan jembatan. Infrastruktur jalan dan transportasi belum dapat menghubungkan kota-kota di Papua seperti contoh konektivitas antara Jayapura, Wamena, Timika, dan Merauke. Keempat kota tersebut masih terhubung dengan transportasi laut dan udara.

Sementara itu, data kualitatif menunjukkan adanya tingkat insidensi kerusakan jalan dini di Indonesia maupun di dunia. Ini kemungkinan disebabkan kombinasi beberapa faktor, termasuk desain teknik yang tidak cocok untuk medan dan kondisi tanah yang sulit, hasil perkiraan biaya dan ketersediaan anggaran yang tidak memadai, pengawasan dan mutu konstruksi yang buruk yang kemudian diperparah oleh pemeliharaan dan pemanfaatan yang tidak memadai.

Kondisi tersebut dapat dipicu akibat sejak awal, perencanaan infrastruktur tidak berbasis pada human infrastructure. Perencanaan tidak memikirkan aspek dimensi integrasi manusia dan infrastruktur itu sendiri. Perencanaan jaringan transportasi seharusnya berbasis pada budaya masyarakat. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dituntut mengembangkan dan menerapkan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan sumber kekayaan lokal untuk mendukung pembangunan sistem jaringan jalan.

Norma, standar, prosedur, dan manual (NPSM) mesti user friendly sehingga masyarakat dengan mudah memahaminya. Tentu, melibatkan masyarakat dalam model pembangunan seperti ini membutuhkan sinergi keahlian, tidak hanya ahli teknis tetapi juga mencakup bidang non-teknis. Seperti misalnya komunikasi dan pemberdayaan masyarakat. Teknologi konstruksi sederhana seperti untuk jembatan pendek hingga pembangunan jalan distrik atau pemukiman dapat menggunakan pendekatan ini.

Tentu agar tidak melenceng dari standar spesifikasi yang telah ditetapkan, perlu ada pendampingan yang komprehensifagarmasyarakat dapat merawat dan memelihara akses transportasi mereka sendiri. Dalam konteks Indonesia, dengan mengerti sumber kekayaan lokal, proyek pembangunan jalan dan jembatan akan lebih efisien dan efektif. Apalagi bila sumber kekayaan lokal tersebut tesertifikasi dengan standar yang ada, membangun jalan dan jembatan di daerah mana pun di Indonesia tidak akan terkendala dengan bahan material yang harus dikirim dari wilayah lain.

Kombinasi perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan yang mengerti apa kebutuhan masyarakat lokal jadi kuncinya.

 

Herry Vaza

Kepala Pusjatan Balitbang Kementerian PUPR

Download disini